Setelah menikah di bulan April 2009, kami memutuskan untuk menunda memiliki momongan. Karena kondisi ekonomi kami saat itu masih sangat jauh dari kata mapan. Dan aku sendiri masih ingin mewujudkan cita-cita sebagai wanita karier. Sementara waktu aku masih tinggal bersama orangtua di Purwokerto. Sedangkan suami di Cilacap karena tempat tugasnya di sana.
Baca : Cinta Bersemi di mIRC
Hanya bertahan beberapa minggu, aku memutuskan untuk mengikuti suami di Cilacap. Bagaimanapun, wanita yang telah menikah baiknya tinggal bersama suami. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga mertua yang sayang dan pengertian. Meskipun tinggal di rumah mertua, aku tetap bisa merasakan kasih sayang layaknya dari keluargaku sendiri.
Ketika semua orang di rumah berangkat ke kantor masing-masing, bosan mulai melanda. Yang aku lakukan sehari-hari hanyalah menunggu suami pulang kerja. Rasanya sangat lama karena tidak ada kesibukan lagi selain mengurus rumah.
Hari demi hari berlalu, rasa bosan dan stres sering melanda. Ketika selama hampir 8 bulan belum juga ada tanda-tanda kehamilan, keingin untuk jadi wanita karier kembali menguat. Aku harus bekerja, aku tidak mau menunggu dalam sepi.
Di penghujung 2009, kesempatan itu datang melalui seleksi CPNS Cilacap. Setelah 2 kali gagal di Banyumas, aku tidak mau gagal untuk ketiga kalinya. Kenapa CPNS daerah? Bukankah saat itu banyak lowongan di pusat? Iyup, saat itu belum ada pembatasan jumlah instansi yang dilamar. Beberapa diantaranya lolos seleksi administrasi, tapi tidak aku ikuti ke tahap selanjutnya. Rupanya aku terlalu takut untuk jauh dari keluarga (pasti ada klausal "bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia").
Baca : Alhamdulillah Resmi Naik Pangkat
April 2010 mulai memakai seragam khaki, satu dari sekian impianku terwujud. Masih ingat dengan jelas bagaimana bahagianya mama ketika tau anaknya akhirnya jadi PNS, yang adalah juga impian beliau. Hingga saat inipun masih terngiang dengan jelas, sedari aku kecil, seringkali mama berucap "sekolah karo ngaji sing pinter ya va, ben ngesuk gede dadi pegawai negeri". Dari sinilah saya belajar, kekuatan ucapan seorang ibu sungguh luar biasa. Dan pasti akan aku terapkan ke cucu mama juga.
April 2010 kami memutuskan untuk kost karena jarak tempat tugasku yang jauh dari rumah mertua. Aku di Cilacap kota dan mertua di Nusawungu. Saat itu suami ngalahin ikut kost dan dilaju tiap hari ke kantornya (di Nusawungu) dengan bersepeda motor selama kurleb 1 jam. Beberapa bulan kemudian, suami mengajukan pindah tugas ke Jeruklegi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahunpun berganti.
1 tahun pernikahan. Kami mencari pegangan finansial. Kami belum terlalu pusing dengan urusan anak.
2 tahun pernikahan. Kami sedang menikmati masa-masa awal meniti karier. Kami mulai berpikir tentang anak. Terlebih dengan semakin banyak celoteh dan kicauan dari sana sini tentang bagaimana kami, yang telah lama menikah, belum juga memiliki keturunan.
3 tahun pernikahan. Emosi mulai tidak stabil. Rupanya keyakinanku mulai goyah. Apalagi sindiran orang-orang yang semakin "tajam" dan "menusuk". Seringkali mampir di telinga "Udah isi belum?", "Udah lama nikah koq belum hamil2 c?". Sebisa mungkin aku jawab "Belum, minta doa ya". Tapi jujur, lelah dan sakit dengan senyuman palsu sedangkan hati terkoyak. Wanita mana yang tak sakit ketika dikatakan "mandul".
3 tahun pernikahan. Bersyukur memiliki suami yang super sabar dan terus meyakinkan bahwa tidak ada masalah pada kami berdua, padaku. Meskipun aku mulai bertanya-tanya. Ada apa dengan diriku? Apakah aku sakit? Padahal kami tinggal bersama dan bahkan tanpa KB apapun, aku belum juga bisa hamil. Kami mulai berencana melakukan kunjungan ke dokter. Meskipun aku sendiri sangat takut akan apa yang mungkin aku hadapi. Mungkinkah aku ada kista, miom, atau aku benar-benar seperti kata orang-orang, mandul?
3,5 tahun pernikahan. Belum juga terlaksana rencana kunjungan ke dokter, Alloh menjawab do'a kami.
Pagi hari di 27 Oktober 2012, setelah telat 5 hari, aku beranikan diri melakukan testpack. Tidak banyak berharap, karena bulan-bulan sebelumnyapun demikian, tapi selalu hasilnya satu strip. Tapi tetap saja, deg-degan. Air mata mulai membuncah ketika dua strip merah muncul di testpack. Alhamdulillah Robbi... kau jawab keraguan kami, akhirnya kau titipkan janin di rahimku.
Siang hari, 9 November 2012. Tanpa tanda apapun, tanpa keluhan apapun, tiba-tiba keluar sedikit flek. Aku pikir masih wajar karena di beberapa artikel menyebutkan itu proses penempelan janin ke dinding rahim. Makin siang, bukan lagi flek, lebih seperti darah yang keluar ketika haid. Panik dan takut, aku memilih ijin pulang awal dari kantor dan kembali ke rumah kontrakan kami. Suamipun tak kalah panik dan langsung pulang dari kantor begitu aku telpon.
Panik, cemas dan takut semakin menjadi. Sore hari, kami menuju dokter kandungan mana saja yang buka praktek. Rasanya seperti disambar petir ketika dokter menyatakan, janin kami telah hancur tak terbentuk dan harus segera diambil. Tak sudi rasanya berpisah dengan anakku, bahkan ketika dia belum bernyawa.
Malam hari, 9 November 2012. Efek bius mulai menghilang, mual tak karuanpun datang. Dengan mata tertutup rapat, aku mulai bisa mendengar suara suamiku yang tengah bersiap membawaku pulang. Ketika kesadaran mulai datang, tiba-tiba dunia terasa hampa. Lidahku kelu, tak sanggup bahkan hanya untuk bertanya "Dede dimana yah?"
3,5 tahun kami menanti. Dan kehagiaan itu hanya menghampiri selama 13 hari saja. 13 hari penuh harapan dan doa kamu akan tumbuh dengan sehat, nak. 13 hari, kami mulai menghitung hingga saatnya kelak kamu lahir, nak.
Sebesar apapun cinta kami kepadamu, rupanya Alloh lebih menyayangimu, nak. Bahagialah disana. Jadilah malaikat kecil kami. Tunggu kami di sana. Kami mencintai dan merindukanmu selalu, nak.
-Ayah, Bunda, dd Arsa-
Promil Story : PENANTIAN BERUJUNG AIR MATA
Rumaharsa
Februari 01, 2018
Related Articles
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar